Kegagalan Riset Jangan Dipandang Sebagai Kerugian Negara
Jika kita perhatikan teknologi yang ada di Indonesia mayoritas masih impor, sebut saja teknologi di bidang kesehatan 97,2% impor. Mulai dari jarum suntik, benang untuk operasi, alat kontrasepsi. Ini menjadi tanggung jawab dan tantangan bagi perguruan tinggi dan juga institusi riset lainnya di Indonesia.
“Terkait hal ini kami perlu meningkatkana kerjasama dengan industri agar riset-riset kami ini sesuai dengan yang dibutuhkan industri dan bisa mengurangi produk impor, namun ternyata untuk proses bekerja sama dengan industri ini ada beberapa kendala,” terang Rektor UGM Dwikora Karnawati saat pertemuan Tim Kunjungan Kerja Komisi X DPR RI dipimpin Wakil Ketua Komisi X Abdul Kharis Almasyhari dengan Rektor Perguruan Tinggi Negeri di UPN Yogyakarta, Senin (21/12/2015).
Dijelaskan Dwi, yang menjadi kendala adalah pihak industri belum sepenuhnya bisa menerima kerjasama riset dengan perguruan tinggi karena tidak ada insentif. Jika saja ada kebijakan yang memberikan insentif bagi industri yang diwajibkan untuk dilakukan join riset atau riset development akan sangat berarti bagi perguruan tinggi. Selain itu perlu juga diberikan kebijakan khusus terutama untuk riset-riset ini, jangan sampai jika penelitian di perguruan tinggi itu belum berhasil atau gagal, karena yang namanya riset itu tidak selalu berhasil.
“Kalau gagal itu jangan sampai dianggap merugikan negara, artinya peneliti yang gagal melakukan riset jangan sampai nanti dicari-cari KPK, Bareskrim, atau BPK dan sebagainya. Ini sepertinya untuk menjadi PTNBH itu tantangannya masih cukup banyak karena niatnya sudah bagus pemerintah itu niatnya bagus untuk mengurangi produk impor untuk menggilirkan riset ke industri tapi belum semua peraturan itu menfasilitasi tadi,” jelas Dwi.
Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan hasil riset UGM yang telah diterapkan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertama di bidang transportasi yaitu Trans Jogjakarta. Bahkan, Trans Solo dan Trans Jakarta, serta satu lagi trans disalah satu kota di Sumatera adalah produk riset UGM.
Kemudian di Bandara Adisucipto, ada satu produk riset UGM yang merupakan pertama kali di Indonesia dimana menggabungkan multiroda transportasi, jadi dari airport langsung bisa naik bis dan naik kereta api ke daerah yang lain. “Sekarang baru disusul Medan, tapi di Yogja sudah lima tahun lebih yang lalu sudah melalukan hal tersebut,” imbuhnya.
Riset-riset lainnya yang dilakukan UG bekerja sama dengan pemerintah daerah antara lain, riset tentang pengelolaan warisan budaya, riset mengenai kesehatan primer, riset mengenai kebencanaan, riset pengurangan resiko bencana dan penerapan teknologi kemampuan dan deteksi dini bencana. Selama ini, Indonesia membeli hasil riset deteksi dini bencana dari Jepang, Australia, atau Kanada. Padahal sebagaimana diketahui saat ini UGM sudah bisa memproduksi hal tersebut. (sc), foto : suciati/parle/hr.